Selasa, April 28, 2009

nikah

PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF ALQURAN
1.Pendahuluan
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Rumah tangga Muslim merupakan tiang kehidupan sosial. Jika unsur individu sudah baik juga. Jika sebuah keluarga sudah baik, maka masyarakat akan baik. Dan rumah tangga muslim merupakan tempat yang efektif untuk melaksanakan praktik pendidikan dan pengajaran tentang Islam dan syi'ar-syi'arnya. Dari tengah rumah tangga ini tumbuh kasih sayang dan hikmah. Dan dari masing-masing individu lahirlah cinta kasih sayang, kemuliaan, kedermawanan dan perlindungan hak-hak dalam hidup. Di antara bentuk sikap atau perbuatan yang semestinya di jadikan 'perhiasan' sehari-hari oleh rumah tangga dalam rangka menampilkan nilai-nilai luhur Islam dan menjaga ketentraman dan keamanan masyarakat adalah senang kepada kesucian dan kebersihan. Oleh karena itu, dalam pembahasan singkat berikut akan dijelaskan sedikit tentang, konsep pernikahan dalam Al-quran, tujuan pernikahan, dan hikmah nikah.
2.Pengertian
Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak kurang lebih dalam 17 ayat Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad) perkawinan
Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar ah, Dia menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al – Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang halus
Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’.
Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang semakna dengan itu. Dalam definisi ulama Mazhab Hanafi, hal ini tidak diungkapkan secara jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti lafal hibah. Yang dapat perhatian khusus bagi ulama Mazhab Hanafi, disamping masalah kehalalan hubungan seksual, adalah tidak adanya halangan syara’ untuk menikahi wanita tersebut. Misalnya. Wanita itu bukan mahram (mahram atau muhrim) dan bukan pula penyembah berhala. Menurut jumhur ulama, hal-hal seperti itu tidak dikemukakan dalam definisi mereka karena hal tersebut cukup dibicarakan dalam persyaratan nikah.
Perkawinan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan
Allah berfirman di dalam al-Qur'an surat ad-Dzariat: 49
       
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.

Firman-Nya pula dalam surat yasiin: 36
             
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siapmelakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.



Firman Allah dalam surat al-Hujuraat: 13
 ••      
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
Firman Allah pula dalam surat an-Nisa: 1
 ••                
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.

Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.

Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri (seks), memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya.

Pergaulan suami-isteri diletakkan di bawah naungan naluri keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan membuahkan buah yang bagus.

Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I-Allah SWT dan Rasul-Nya.

3.Tujuan Pernikahan
Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah (artinya ) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ).
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka.

4.Hikmah Nikah
Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah perkawinan, yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam menyalurkan naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (QS.30:21). Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan (menggoda), dari belakang juga demikian. Apabila seorang lelaki tergoda oleh seorang wanita, maka datangilah (salurkanlah kepada) istrinya, karena hal itu akan dapat menentramkan jiwanya” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
2. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan bangga sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding nabi-nabi lain di akhirat kelak” (HR. Ahmad bin Hanbal).
3. Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.
4. Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab.
5. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.
6. Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturrahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak.
7. Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
8. Dengan menikah kita juga dapat mendapatkan anak yang shalih dan mematahkan syahwat, kita juga dapat mengatur rumah tangga, memperbanyak keluarga dan mendapat pahala atas jerih payah memberi nafkah bagi mereka. jika anaknya shalih, maka ia mendapat berkah doanya dan jika anak-nya wafat, maka ia menjadi pemberi syafa'at baginya.
Oleh karena itu, ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa untuk memulai suatu perkawinan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya mencapai cita-cita rumah tangga sakinah. Langkah-langkah itu dimulai dari peminangan (khitbah) calon istri oleh pihak laki-laki dan melihat calon istri; sebaliknya, pihak wanita juga berhak melihat dan menilai calon suaminya itu dari segi keserasiannya (kafaah). Masih dalam pendahuluan perkawinan ini, menurut ulama fiqh, Islam juga mengingatkan agar wanita yang dipilih bukan orang yang haram dinikahi (mahram). Dari berbagai rangkaian pendahuluan perkawinan ini, menurut Muhammad Zaid al-Ibyani (tokoh fiqh dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam perkawinan nanti tidak muncul kendala yang akan menggoyahkan suasana as-sakinah, al-mawadah, dan ar-rahmah.

5. Kewajiban suami kepada isteri
1. Adil :
• Kodrat wanita ‘bengkok’ : dikeraskan bisa patah, dilunakkan tetap bengkok.
• Dalam memutuskan keputusan yg berhubungan dg rumah tangga dilarang dalam keadaan marah, karena yang dominan adalah hawa nafsu.
• Fenomena poligami di dunia arab telah didukung oleh kemampanan ekonomi suami, sehingga sikap adil dalam pemberian nafkah ekonomi bisa diberikan maksimal. Adil juga dalam kasih sayang terhadap istri-istri.
2. Pemimpin
• Visi dan misi berumah tangga adalah mewujudkan keluarga Sakinah Mawadadah wa Rahmah.
• Juga untuk mewujudkan keluarga yang dekat da mengenal Allah swt, dan menjadi tanggung jawab suami untuk membawa istri dan anak-anak kepada Tauhid sebagai pertanggungjawaban nanti di akhirat (QS : Wahai orang –orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka).
3. Pemberi Nafkah
Ternyata suami punya tugas berat terhadap keluarganya, mencari nafkah, mengelola rumah tangga. Seyogyanya suami mampu memberikan nafkah sebagaimana sang istri terima ketika masa gadisnya oleh orang tuanya. tapi Jika isteri mampu bersikap sabar dengan segala keterbatasan suami, itulah kebaikan yang besar bagi sang istri.
4. Pendidikan Isteri
Istri juga berhak mendapatkan pendidikan, jika suami sudah S3 tak salah pula untuk menyekolahkan istri lebih tinggi. Jika istri tak bisa mengaji menjadi kewajiban suami untuk mengajarkan atau mencarikan lembaga pendidikan supaya bisa menjadi bisa mengaji.
5. Pelindung Keluarga
6. Bergaul dengan lembah lembut.
Allah berfirman di dalam surat an-Nisaa ayat 19
  
dan bergaullah dengan mereka secara patut.


Kelembutan suami dalam berhubungan dengan kolega kantor hendaknya juga menjadi sikap yang sama pada istri di rumah tangga.
Tipe-tipe keluarga: Keluarga kayak kubur (sunyi, senyap), keluarga masjid ( istri dan suami saling mengajak kepada Allah).

7. Sabar
8. Membayar mahar, (makan, pakaian, tempat tinggal)
9. Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
Allah berfirman di dalam surat an-Nisaa ayat 34
                                       •     
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannyaSesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
10. Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.).

6. kewajiban isteri terhadap suaminya
1: Istri yang sholeh adalah yang taat pada perintah Allah, yang menunjukkan perempuan tersebut selalu ingat pada Tuhannya.
2: Istri yang ceria itu enak dipandang, karena dia bisa merawat diri dan menjaga perbuatannya. Perempuan yang berhias di dalam rumah itu membahagiakan.
3: Istri sepatutnya selalu taat pada suami, sepanjang tidak melawan kesukaan Allah. Hal ini menunjukkan karakternya yang tulus, yang berlawanan dengan kesombongan.
4: Istri yang membantu suami dalam memenuhi janji pernikahannya, sepanjang tidak bertentangan dengan kesukaan Allah. Ini menunjukkan loyalitas.
5: Istri mesti menjaga kesuciannya, dengan melindungi kehormatan suaminya. Ini menunjukkan bahwa sang istri layak dipercaya. Ini adalah sangat penting dalam pernikahan, dan bisa berakibat menguatnya atau runtuhnya pernikahan. Ini akan mempengaruhi kedamaian hati suami dan akan sangat menggangu keberhasilannya baik di dalam maupun di luar rumah.
6: Istri menjaga kekayaan dan harta milik suami, dengan secara bijak mengolah apa yang dipercayakan padanya. Ini menunjukkan sang istri cerdas dan handal, karena istri menunjukkan kebolehannya dalam urusan suami. Ini adalah karakter luar biasa, yang sangat dibutuhkan suami yang ingin terus meningkatkan posisi keluarga di masyarakat.
7: Istri mengasuh anak-anak suaminya seperti yang diinginkan sang suami. Hal ini menunjukkan sang istri sangat mengasihi dan menyayangi, dan anak-anaknya menjadi prioritas utama.
8: Istri yang di saat ditinggal suaminya menolak orang lain masuk rumah tanpa ijin sang suami. Keluarga istri selalu diijinkan, kecuali yang dilarang oleh sang suami. Juga, di saat suami pergi, sang istri bisa menerima saudara laki-laki suami masuk rumah; namun dia hanya boleh masuk sampai ruangan khusus, seperti ruang tamu, dan saudara ipar tersebut tidak boleh berduaan dengan sang istri. Contoh lainnya, sang istri tidak semestinya meninggalkan rumah suami tanpa ijin. Sekalipun perempuan diperbolehkan untuk datang ke Masjid, namun mereka harus mendapatkan ijin dari suami sebelum berangkat ke Masjid atau hendak beribadah puasa.
9: Istri yang tidak menolak saat dipanggil suami ke tempat tidur. Pekerjaan istri di rumah memang berat, namun begitu juga godaan yang dihadapi suami di luar rumah di setiap harinya. Jadi, seorang istri yang bijak akan mengerti bagaimana caranya untuk melegakan sang suami, dengan diantaranya memenuhi hasrat suami.
10: Istri berlaku ramah pada orang tua suami. Artinya, sang istri menunjukkan keramahan pada orang tuanya, sebagaimana menantu yang baik berperilaku, dengan setia melayani mereka. Perbuatan semacam ini memperkuat ikatan suami istri, karena hal ini menunjukkan penghormatan.
dua nilai penting bagi suami, yang ingin memiliki keturunan yang baik dan ingin memberikan anak mereka pasangan hidup yang baik. Yang pertama adalah untuk orang tua terutama sang bapak yang menginginkan anak-anak yang patuh, mesti menjaga perilakunya, atau anak-anaknya akan tumbuh menjadi tidak patuh. Orang tua tidak bisa memberikan pada mereka apa yang mereka tidak punyai. Yang kedua adalah pada sahabat Rasulullah, di saat mereka membawa calon pengantin perempuan pada suaminya, menasehati mereka untuk melayani suami, dan berbuat baik pada orang tuanya.
7. Pesan-pesan di dalam pernikahan

1. CINTA.
Cinta itu adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan ini boleh jadi disebabkan lezatnya yang dicintai atau karena manfaat yang diperoleh daripadanya. Cinta sejati antar manusia terjalin bila ada sifat-sifat pada yang dicintai sesuai dengan sifat yang didambakannya. Rasa inilah yang menjalin pertemuan antara kedua pihak dalam saat yang sama dicintai dan mencintai

2. MAWADDAH:
Yaitu sesuatu di atas cinta yang seharusnya mengikat hubungan suami istri. Tahukah ananda berdua, apa yang disebut mawaddah itu ?
Mawaddah, maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan . Kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Demikian menurut pakar M. Quraish Shihab. Mawaddah itu adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, disamping akan terus berusaha mendekat dan mendekat- sesekali hatinya kesal juga, sehingga cintanya pudar, bahkan putus. Sedang bagi orang yang didalam hatinya bersemi mawaddah atau cinta plus itu, dia tidak akan memutuskan hubungan, seperti yang biasa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintunya pun sudah tertutup, tidak bisa dihinggapi keburukan lahir dan batin, yang mungkin datang dari pasangannya. Mawaddah adalah cinta plus yang tampak dampaknya pada perlakuan, serupa dengan tampaknya kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat kepada seseorang.


3. RAHMAH.
Rahmah adalah kondisi psikologis, yang muncul di dalam hati, akibat menyaksikan ketidak berdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Karena itu, dalam kehidupan keluarga masing-masing suami dan istri akan bersunguh-sungguh , bahkan bersusah payah, demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya.
Rahmah itu menghasilkan kesabaran......., murah hati, tidak angkuh, tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, tidak pemarah dan tidak pendendam. Ia menutupi segala sesuatu dan sabar menanggung segalanya. Sementara mawaddah tidak mengenal batas dan tidak berkesudahan.
Mengapa Al Quranul Karim menggaris bawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan. Agaknya karena betapapun hebatnya seseorang, pasti dia memiliki kelemahan. Dan betapapun lemahnya seseorang pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi.



Allah berfirman di dalam al-Quran surat an-Nisaa ayat 1
 ••           
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya

Firman-firman tersebut mengandung isyarat, bahwa suami dan istri harus dapat menjadi diri pasangannya dalam arti masing-masing harus merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh pasangannya dan masing-masing harus mampu memenuhi kebutuhan pasangannya itu.
Allah berfirman di dalam surat al-Baqarah ayat 187
  •  

Istri-istri kamu adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian mereka
Ayat tersebut tidak hanya mengisyaratkan, bahwa suami dan istri saling membutuhkan, melainkan juga berarti, suami dan istri masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan, harus dapat berfungsi menutup kekurangan pasangannya itu.

4. AMANAH
Istri adalah amanah bagi sang suami dan suamipun amanah bagi sang istri. Tidak mungkin orang tua kalian dan keluarga kalian masing-masing akan merestui pernikahan ini tanpa adanya rasa percaya dan aman. Suami, demikian juga istri, tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Penikahan ini bukan hanya amanat dari mereka, melainkan juga amanat dari Allah swt. Bukankah ia dijalin atas nama Allah dengan menggunakan kalimat-Nya. Ananda tahu bahwa menikah adalah diperintahkan dan disunnahkan. Sekarang ketahuilah, bahwa syariat pernikahan sama sekali tak akan mendatangkan kebahagiaan dan mencapai tujuannya selain dengan menikahi wanita yang taat beragama dan memegang teguh moral mulia. isteri adalah partner hidup, ibu anak-anak, dan mereka akan tumbuh bersamanya dan mengekor kebiasaannya tersebut.

Ada sebuah kisah
Ada seorang pria datang kepada sayyidina Umar ra. dan menyampaikan rencananya menceraikan istrinya.
Umar, Khalifah Rasulullah Saw yang kedua itu berkomentar antara lain:
Dimana engkau letakkan amanah yang telah engkau terima itu.
Lalu beliau membaca firman Allah dalam surat an-Nisaa ayat 19
            

Seandainya kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah/jangan ceraikan). Mungkin kamu tidak mrnyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Ananda calon suami istri, serta hadirin Rahimakumullah
Amanah itu terpelihara dengan mengingat Allah. Kebesaran, kekuasaan dan kemurahan-Nya. Ia dipelihara dengan melaksanakan tuntunan agama. Siramilah amanah itu dengan shalat walau pun hanya lima kali sehari.

Ananda calon suami isteri yang berbahagia
Camkan beberapa ketentuan dan nasehat berikut ini:
Firman Allah di dalam surat al-Maidah ayat 1
                    •     

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad perjanjian
Firman Allah di dalam surat at-Thalaq ayat 6

          
Tempatkanlah mereka (istri) itu dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.

Firman Allah di dalam surat al-Baqarah ayat 228
             
Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Tahukah ananda, apa yang dimaksud dengan satu tingkatan derajat itu?
Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istri untuk meringankan sebagian kewajiban istri

8.Hukum Perkawinan Negara Muslim
Jika undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada abad ke-20 dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam rangka mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah tersebut di atas, yaitu masalah batas umur untuk kawin, masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal, masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian.

Jadi apabila kita akan melaksanakan pernikahan merupakan sunnah Rasulullah Saw, yang di mana syariatnya telah diajarkan di dalam agama kita, yaitu agama Islam sudah kewajiban bagi kita apabila kita hendak nikah itu mengikuti petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah.


























DAFTAR PUSTAKA


Hamd Raqith Hasan, , 1997, Merengkuh Cahaya Ilahi, Yogyakarta: DIVA Press
Sabiq Sayyid, 1980, Fikih Sunnah 6, Bandung: Alma'arif
Al-Ghazali, 1986, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani
Muhammad Adhim Fauzil, 2007, Saatnya untuk Menikah, Yogyakarta: Pro U-Media.
Muhammad bin Al-Hamad Ibrahim, 2004, Apa Salahku Hingga Perkawinan Tak Mendatangkan Bahagia, Magelang: ICB Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar